Meskipun penelitian untuk menganalisis situasi sanitasi di Indonesia telah intensif dilakukan, hasil penelitian tersebut belum cukup untuk menunjukkan aspek perilaku masyarakat secara komprehensif berdasarkan komponen lengkap dalam sanitasi total berbasis masyarakat (STBM). Penelitian terbaru yang hanya berdasarkan ketersediaan fasilitas sanitasi dan keterjangkauan masyarakat menemukan bahwa lemahnya dukungan keuangan yang dialokasikan untuk mengatasi masalah sanitasi menjadi faktor kunci.
Sejak 1993 sanitasi telah menjadi perhatian di Indonesia. Terbukti dengan adanya studi yang mengkaji akses pasokan air, mulai dari pedesaan hingga kawasan perkotaan. Seiring berjalannya waktu, tidak hanya akses pasokan air saja, namun perhatian dunia (melalui WHO dan World Bank) juga menyoroti pengelolaan limbah cair pada tahun 2000, dengan mendorong komitmen pemerintah yang akhirnya ditindaklanjuti melalui program BAPPENAS. Namun masih terdapat isu kritis yang harus segera diatasi. Dari total limbah cair perkotaan, hanya 1% yang dapat ditangani. Ketika lebih dari 60% masyarakat perkotaan belum memiliki jamban sehat, hanya 4% diantaranya yang mendapat perhatian. ODF hanya 14% di masyarakat perkotaan. Tahun 1993 hanya 32% masyarakat pedesaan yang memiliki akses pasokan air. Pada tahun 2011 meningkat menjadi 58%. Untuk sanitasi, baik masyarakat pedesaan maupun perkotaan pada tahun 1993 hanya tercapai 11% yang memiliki akses sanitasi. Meningkat menjadi 39% pada tahun 2011. Pemerintah menambah alokasi anggaran 3,1 milyar US$ tiap tahun untuk akses pasokan air, dan 1,4 milyar US$ untuk akses sanitasi.
Bahkan pada tahun 2011 pemerintah Indonesia menyatakan akan menambah alokasi anggaran sebesar 3,1 milyar Dollar setiap tahun untuk memperbaiki akses pasokan air dan 1,4 milyar Dollar untuk meningkatkan akses sanitasi masyaraka. Pada tahun 2012, perhatian pemerintah meningkat dengan menambah fokus pada pengelolaan limbah cair. Namun hingga tahun 2016, hanya 1% masyarakat yang mendapatkan akses sanitasi tersebut. Pada tahun 2020, akibat dari pandemi Covid-19, fasilitas sanitasi tidak hanya berdampak pada konstruksi fisik, namun layanan sanitasi dari sanitarian juga berkurang. Hal tersebut karena adanya batasan mobilisasi dan penurunan anggaran, oleh setidaknya 2% provinsi se-Indonesia. Studi yang dilakukan oleh WHO, World Bank, UNICEF dan Australian Agency for International Development (AusAID) hanya menemukan kendala pembiayaan pada masalah akses sanitasi di Indonesia. Hal tersebut berdasarkan ketersediaan fasilitas sanitasi dan keterjangkauan masyarakat.
Gambar 1. Cakupan Akses Sanitasi di Indonesia Skala Rumah Tangga
Cakupan Sanitasi di Indonesia (angka rerata nasional) yang dipantau melalui sistem Monitoring dan Evaluasi STBM dibawah Direktorat Kesehatan Lingkungan – Kemenkes RI pada saat data diambil menunjukkan angka 73.9 persen. Masih terdapat GAP sebesar 26,1 persen masalah sanitasi yang harus segera diselesaikan.
Penelitian yang telah dilakukan terkait analisis situasi sanitasi di Indonesia hanya menemukan lemahnya dukungan keuangan yang dialokasikan untuk mengatasi masalah sanitasi. Sanitasi yang menjadi sorotan hanya berdasarkan ketersediaan sarana sanitasi seperti adanya kuantitas dan kualitas air bersih dan air minum, adanya jamban yang layak, serta limbah cair rumah tangga. Belum menunjukkan aspek perilaku masyarakat, sesuai komponen lengkap dalam sanitasi total berbasis masyarakat (STBM). Jika dilakukan analisis secara holistik berdasarkan STBM, kemudian dilakukan klasterisasi wilayah kabupaten/ kota berdasarkan kondisi sanitasinya, akan menghasilkan informasi lengkap terkait kondisi sanitasi di Indonesia.
Hasil penelitian dapat menentukan klasifikasi kondisi sanitasi untuk memberikan informasi secara komprehensif daerah mana saja yang termasuk dalam prioritas program intervensi sanitasi, sekaligus program apa saja yang dibutuhkan oleh daerah tersebut sehingga dapat secara lebih efektif mengatasi permasalahan sanitasi.
Tabel Analisis Cluster Situasi Sanitasi Berdasarkan Komponen Lengkap STBM
Indikator | Nasional | Cluster 1 | Cluster 2 | Cluster 3 |
Tidak BAB Sembarangan | 11.08 | 3.56 | 12.66 | 17.42 |
BAB Tidak Menggunakan Jamban | 11.80 | 6.97 | 12.66 | 16.12 |
Sarana Sanitasi Kurang Memadai | 63.20 | 34.52 | 70.32 | 69.99 |
Cuci Tangan dengan Benar | 50.20 | 40.80 | 56.99 | 55.48 |
Sumber Air Bersih Buruk | 34.72 | 20.44 | 39.65 | 37.56 |
Sumber Air Minum Buruk | 26.32 | 14.30 | 30.60 | 28.97 |
Pengelolaan Makanan Aman | 62.08 | 47.84 | 69.89 | 60.04 |
Tempat Sampah Terbuka | 77.90 | 75.10 | 79.32 | 73.94 |
Buang Sampah Sembarangan | 13.70 | 7.22 | 13.14 | 26.37 |
Tidak Ada Saluran Pembuangan Air Limbah | 69.90 | 69.65 | 69.91 | 78.66 |
Buang Tinja Sembarangan | 33.50 | 38.40 | 31.86 | 44.19 |
Warna hijau : di bawah prevalensi nasional
Warna kuning : di atas prevalensi nasional akan tetapi tidak tertinggi
Warna merah : di atas prevalensi nasional, tertinggi
Berdasarkan hasil diatas, didapatkan bahwa nilai untuk cluster 1 tidak memiliki masalah prioritas dalam hal kesehatan lingkungan. Hanya terdapat satu indikator yaitu buang tinja sembarangan yang berada pada diatas rata-rata nasional. Sedangkan pada kluster 2 didapatkan kompleksitas masalah yang lebih kompleks dimana hampir semua indikator berada diatas rata-rata nasional, hanya pada indikator sembarangan membuang sampah dan membuang tinja semabarang yang berada pada dibawah rata-rata nasional. Kemudian pada kluster 3 juga memiliki nilai yang sama, meskipun sedikit membaik kondisinya dibandingkan pada kluster 2. Kluster 3 terdapat permasalahan yang kompleks pada BAB tidak ada, BAB tidak dijamban, membuang sampah sembarangan, tidak ada saluran pembuangan air limbah dan membuang tinja sembarangan.
Jika dilihat pada gambar, didapatkan pada gambar didapatkan ada area dimana provinsinya memiliki irisan pada permasalahan di kluster 2 dan 3. Provinsi tersebut diantaranya: Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Maluku, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur.
Komentar Terbaru