Air sangat diperlukan dalam kehidupan semua makhluk hidup, baik untuk dikonsumsi maupun untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti mencuci, mandi, dan sebagainya. Air yang akan digunakan tentu harus bersih dan aman (bebas dari mikroorganisme dan kontaminan). Namun, di berbagai belahan dunia, kurangnya akses air yang bersih dan aman masih sering terjadi. Buruknya akses air yang bersih (terutama air minum), buruknya sanitasi, dan kurangnya higienitas menjadi salah satu penyebab utama berbagai penyakit, seperti diare, kolera, tifoid, yang dapat berujung pada kematian. Buruknya kualitas air juga dapat menyebabkan terjadinya water-borne disease (misalnya diare, kolera, tifoid, dsb) karena air merupakan sarana transmisi beberapa pathogen dan mikroorganisme, seperti Eschericia coli, Salmonella thyphi, Vibrio cholera, norovirus, dsb. Adanya water-borne disease tersebut dapat menyebabkan berbagai infeksi yang berujung pada penurunan status gizi. Penurunan status gizi pada kelompok rentan seperti bayi, balita, dan lansia, akan sangat berdampak pada sistem kekebalan tubuh dan status kesehatan lainnya.

Di Indonesia, water-borne disease umumnya berasal dari air sumur yang digunakan oleh warga setempat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari & Mukono (2013) di suatu desa di Jawa Timur, dari 30 warga setempat, sebanyak 14 orang (46.7%) mengalami kejadian water-borne disease berupa diare. Setelah dilakukan uji sampel pada air sumur yang digunakan oleh warga daerah tersebut, diketahui bahwa sebanyak 92.86% air sumur gali dan 100% air sumur bor yang digunakan positif mengandung E.coli. Dari tes koliform yang dilakukan, diketahui bahwa jumlah E.coli yang terdapat dalam sumur air di daerah tersebut melebihi ambang batas, yaitu > 50/100 ml untuk air sumur gali (batas untuk air bersih non perpipaan harus < 50/100 ml air), dan > 10/100 ml air untuk air sumur bor (batas untuk air bersih perpipaan harus < 10/100 ml air).

Pada beberapa jenis, E.coli sebenarnya tidak berbahaya karena bakteri E.coli sendiri sebenarnya hidup di dalam organ pencernaan manusia. Namun, dari hasil pemeriksaan di atas, diketahui bahwa dalam air sumur yang digunakan oleh warga desa tersebut terdapat kontaminasi bakteri E.coli, dimana bakteri E.coli tersebut mungkin berasal dari adanya kontaminan kotoran (feces) hewan atau manusia. Adanya bakteri E.coli dalam air minum akan menyebabkan timbulnya gejala klinis seperti diare, muntah, kram perut, dan dapat berujung pada keadaan hemolytic uremic syndrome (HUS). Selain adanya E.coli, water-borne disease juga dapat dipengaruhi oleh sistem imun, oleh sebab itu tidak semua warga merasakan gejala water-borne disease. Sistem imun didalam tubuh berfungsi untuk melawan pathogen penyakit, sehingga water-borne disease lebih rawan terjadi pada kelompok masyarakat yang memiliki sistem imun rendah, seperti  balita, lansia (> 65 tahun), orang dengan penyakit immunosuppressed (kanker, HIV/AIDS), orang dengan penyakit kronis (diabetes, hipertensi), dan orang yang mengonsumsi obat-obatan tertentu.

Salah satu cara untuk mencegah terjadinya water-borne disease karena mengonsumsi air sumur adalah dengan merebus air sumur tersebut hingga mendidih sebelum dikonsumsi. Bakteri E.coli adalah bakteri yang tidak tahan terhadap suhu tinggi (> 57o C), sehingga bila air sumur direbus hingga mendidih (dan dibiarkan mendidih minimal 1 menit), maka akan mematikan E.coli didalam air tersebut. Selain itu, menurut WHO (2006) penambahan 3-5 tetes chlorine dalam 1 liter air dapat menginaktifkan bakteri patogen dalam air (selain untuk keperluan konsumsi. Bila ingin dikonsumsi, sebaiknya direbus lagi hingga mendidih. Penambahan disinfektan (chlorine) bertujuan untuk membunuh bakteri dengan menghambat sintesis protein serta menghambat metabolisme bakteri. Untuk mencegah terjadinya kontak kontaminan dengan air sumur, permukaan sumur sebaiknya diberi penutup yang rapat sehingga dapat melindungi air sumur dari kontaminan luar seperti feces hewan.